Pages

Monday, November 13, 2006

Belajar Tuma'ninah dari Orang Jepang

Sambil menyelam minum air
Sambil mengerjakan pekerjaan rumah, sambil makan dan main komputer.

Melakukan beberapa hal secara bersamaan, bagi saya (dan mungkin banyak orang) sudah menjadi warna yang tidak bisa dihapus dari kehidupan sehari-hari. Ketika kita melakukan banyak pekerjaan secara bersama-sama (yang diwarnai dengan keterburu-buruan), apakah hasil yang diperoleh akan maksimal?

Di jepang, saya diingatkan kembali akan pentingnya tuma'ninah. Tuma'ninah saya pelajari pertama kali sewaktu di SD (waktu pelajaran shalat). “Lakukan semua rukun shalat dengan tuma'ninah”, begitu kata buku yang saya baca (seingat saya...). Tuma'ninah di sini berarti melakukan setiap rukun shalat dengan berurutan, tertib, dan benar-benar fokus. Tuma'ninah semacam inilah yang berhasil diadopsi orang jepang di dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Kebanyakan orang jepang (biasanya) fokus melakukan satu pekerjaan saja di dalam satu waktu. Maklum, mungkin karena ga terlalu banyak yang dipikirkan kayak kita orang Indonesia. One things at a time, begitu kata orang bule. Pekerjaan-pekerjaan lain akan dilakukan setelah pekerjaan yang sedang dia kerjakan benar-benar tuntas. Setiap pekerjaan yang dilakukan mendapatkan perlakuan ekslusif, sehingga hasilnya benar-benar maksimal. Kira-kira begitulah tuma'ninah ala orang jepang.

Seharusnya, bagi seorang muslim, paling tidak 5 kali sehari ia diingatkan atau dilatih untuk tuma'ninah, yaitu di dalam shalat (pelajaran kelas 3 – 4 SD sih... saya juga sudah ga terlalu ingat). Tuma'ninah merupakan salah satu kunci untuk mengalami shalat yang khusyuk, shalat berkualitas tinggi. Sudah sepatutnya setiap muslim mencoba dengan sekuat tenaga untuk menggapai kekhusyukan di dalam shalat. Sayangnya, karena adanya desakan-desakan duniawi (dikejar deadline, ada rapat, ada kelas, dsbg), terkadang sulit sekali untuk melaksanakan shalat secara tuma'ninah. Ketiadaan tuma'ninah di dalam shalat menghasilkan keterburu-buruan, bacaan yang super cepat (sampai-sampai lidah tidak mampu mengikuti), menjamak shalat yang masih bisa dikerjakan pada waktunya, lupa jumlah rakaat, dll. Pada akhirnya, kekhusyukan tidak tercapai, dan shalat hanya menjadi sebatas gerakan-gerakan yang kosong tanpa makna. Bagaimana shalat yang semacam itu bisa menjadi tiang agama? Oleh karena itu, selagi berusaha, mari terus berdoa semoga kita semua diberi kemampuan untuk tuma'ninah dan mencapai shalat khusyuk.

Intinya, ketuma'ninahan menjanjikan kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan keberhasilan / hasil berkualitas tinggi di dalam menyelesaikan suatu tugas atau pekerjaan. Seorang tukang martabak pun menggunakan tuma'ninah sebagai kunci kelezatan martabaknya (urutan cara mengolah adonan sampai ke cara memasaknya). Maaf lari ke martabak, habis, rindu banget sama martabak air mancur sih.

Orang jepang bisa melakukan segalanya secara tuma'ninah. Kita, seharusnya bisa juga!!!