Pages

Wednesday, August 16, 2006

Merdeka KAH???

Pada tahun 1945, setelah 3,5 abad lebih mengorbankan darah dan jiwa, akhirnya bangsa Indonesia berhasil memproklamasikan kemerdekaannya dari belenggu penjajahan. Momen status quo (ketika Jepang menyerah kepada sekutu) dimanfaatkan secara manis oleh bapak-bapak proklamator kita.

Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia

Setelah 61 tahun proklamasi kemerdekaan diserukan, sudahkah kita, bangsa Indonesia, benar-benar merdeka? Sudahkah kita benar-benar lepas dari penjajahan negara lain? Sudahkah kita merasa bebas dan nyaman melakukan apa yang kita yakini benar? Sudahkah kita memaknai dan menjiwai arti “merdeka” di dalam kehidupan kita sehari-hari? Mungkin kebanyakan dari kita akan menjawab dengan “belum”.

Walaupun saat ini kita tidak dijajah secara fisik oleh negara lain (seperti saat kita dijajah belanda dan jepang), sadar tidak sadar, banyak belenggu-belenggu lain yang mengekang kita, yang membuat kita tidak merdeka secara nyata, alias terjajah.

Satu bentuk keterjajahan di Indonesia yang sudah cukup parah adalah terjajahnya pola pikir. Yaitu ketika pola pikir kita membuat kita terbelenggu dan tidak bebas. Keterjajahan pola pikir ini terjadi akibat banyak hal, diantaranya oleh: lingkungan sekitar kita, keluarga, media, dan lain lain. Salah satu contoh nyata yang paling jelas dan destruktif adalah pola pikir yang membuat kita begitu tergantung kepada uang dan materi (materialisme). Uang dan materi menjadi parameter dan sistem nilai di dalam semua sektor hidup. Baik di dalam memilih pekerjaan, persiapan berumah tangga, memudahkan birokrasi, bahkan di dalam berbuat kebaikan sekalipun (semakin banyak uang yang dikeluarkan untuk tujuan kebaikan, semakin dihargai kebaikan tersebut). Pola pikir ini menjadikan ruang gerak kita terbatas hanya di dalam kerangka ke”uang”an. Pola pikir seperti ini pula yang menjadikan negara kita keropos oleh korupsi.

Merdeka secara nyata adalah ketika kita mampu menegakkan kebenaran yang kita yakini dengan sebaik-baiknya, tanpa ada perasaan takut atau tidak nyaman. Dan kemerdekaan seperti itu saat ini sulit dirasakan oleh kebanyakan rakyat kita yang masih dililit kesulitan. Satu cara untuk mendobrak belenggu penjajahan adalah dengan (meminjam istilah Ali shariati) melakukan hijrah. Hijrah dari keburukan kepada kebaikan, hijrah dari pemikiran kita yang lama ke pemikiran yang baru. Hijrah dari semangat yang keropos ke semangat yang baru. Dengan hijrah, kita bukan sekedar melarikan diri dari belenggu-belenggu yang mengekang kita, namun melakukan persiapan yang lebih mantap untuk kelak melawan belenggu-belenggu tersebut. Sama halnya seperti hijrah Rasul dari Mekkah ke Madinah. Beliau bukan sembarang melarikan diri, tetapi beliau membentuk fondasi yang kuat untuk melawan kelaliman. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia mengandung makna yang kurang lebih sama.

Kembali lagi ke fenomena 17 Agustus. Yang dominan terjadi pada tanggal tersebut adalah pesta-pora, lomba-lomba dan bersenang-senang. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan meluapkan kegembiraan, asalkan tahu betul sebabnya. Sayangnya, introspeksi akan makna yang ada dibalik proklamasi kemerdekaan itu sendiri menjadi sisi yang kurang populer. Jika pola pikir semacam ini dibiarkan berlanjut, semakin lama hari kemerdekaan akan semakin menjadi sekedar rutinitas belaka yang maknanya semakin terlupakan. Oleh karena itu, menyambut ulang tahun kemerdekaan Indonesia yang ke-61 ini, mari kita kembali hijrah dan membangun semangat baru untuk berbuat yang terbaik bagi bangsa pada umumnya, dan diri kita pada khususnya.

Hancurkan belenggu-belenggu zaman yang melumpuhkan kita!!!

MERDEKA!!!

No comments:

Post a Comment